Mana yang dibilang jujur ?
Saya agaknya kurang paham mengenai pola pikir manusia,
meskipun notabene saya adalah seorang manusia.
Yang sangat disayangkan disini adalah saya bukanlah seorang cenayang
yang bisa membaca pikiran orang. Saya hanyalah seorang mahasiswi tingkat
pertama yang sedang menjalani perkuliahan yang membahas mengenai Mata Kuliah
Terintegrasi (MPKT) A. Materi MPKT A berisikan banyak bahasan mengenai pola pikir,
kepribadian, individu, kelompok, masyarakat, komunikasi, emosi, etika, logika,
filsafat yang sub materi ini bermuara ke arah bahasan RESPECT SATU SAMA LAIN.
Ini yang saya permasalahkan.
Sudah hampir berapa bulan dihabiskan oleh mahasiswa baru untuk mempelajari pembahasan tersebut ? Lama ? Ya, cukup lama. Apakah senior-senior juga
pernah mempelajarinya ? Tentu pernah. Oke kalau begitu, apakah sudah diterapkan
dalam kehidupan sehari – hari ? Apakah si respect itu sudah dipergunakan dalam
pola pikir ? Bullshit!
Bukan hanya orang Indonesia yang mengenal teori,
seluruh civitas academica di dunia juga pasti sudah pernah mendengar sebuah
teori. Nah yang kita pelajari dan ingat hanya teori, kebanyakan begitu, bukan
kebanyakan lagi tapi MEMANG begitu adanya. Lantas kemanakah perginya si ‘respect’
yang telah diajarkan dalam pembahasan MPKT ? Hanya bermulut manis saat
presentasi di dalam diskusi kelas sajakah si ‘respect’ ini selalu dibawa ? Nah
bagaimana dengan keadaan yang sebenarnya ?
Saya tidak bermaksud menggurui atau sok tahu, karena
memang nyatanya saya merasakan hal-hal tersebut dan alhasil saya jadi tahu, how and how. Ada banyak orang dan golongan di luar sana
yang berkoar mengutarakan soal si RESPECT. Dari mulai pengertian, teori,
kaitannya dengan ini itu dan blablabla… Saya bisa jamin, setidaknya dalam satu
bulan anda bisa menjumpai flyer, pamphlet, berita di Koran, iklan seminar dll
yang isinya mengenai pembahasan tentang si respect dan hal yang terkait
dengannya.
Teori respect terhadap sesama jaman sekarang
nilainya sama dengan hampa. Saya punya sebuah contoh kasus. Pertama coba anda
ingat-ingat, sudah berapa kali, atau seberapa seringkah anda mengingat nama
orang yang berkenalan dengan anda meskipun itu hanya sekilas. Kedua,
seberapa seringkah nama anda diingat oleh orang lain yang
berkenalan dengan anda. Ini contoh yang sangat simple. Pada contoh pertama,
anda sering dan banyak mengingat nama orang yang berkenalan dengan anda di
suatu tempat. Dan saat bertemu kembali secara tidak sengaja, anda menyapa dan
menyebutkan namanya, intinya anda ingat. Tentu orang tersebut akan senang dan
balik menyambut sapaan anda dengan senyum hangat, kemudian disini terjadi
interaksi lebih dalam. Ini contoh kecil dari respect yang sebenarnya, dan saya
recommend sekali mengenai sikap ini. Yang kedua, anda banyak berkenalan dan
berjumpa dengan orang. Akan tetapi saat bertemu kembali di lain tempat secara
tidak sengaja, orang lain cenderung lebih dulu menyapa anda dan mengingat nama
anda. Nah sedangkan anda ? Lupa siapa dia. Ketika anda merespon sapaannya dengan kalimat “Anda
siapa ya ?”, nah siapa yang akan ‘sedikit’ kecewa mendengarnya ? Anda ? Tentu
bukan, anda sih fine fine saja akan hal itu, tapi orang yang berkenalan dengan
anda akan mengingat kejadian tersebut dan mamasukannya ke dalam grey memory
atau bahkan masuk daftar hitam. Intinya disini anda failed menerapkan apa itu
respect, perihal nama orang saja anda tidak peduli, apa lagi yang lain.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk social dan
tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia akan berinteraksi antar sesama
dan membentuk kelompok, dan dari kelompok-kelompok inilah nantinya akan
membentuk suatu masyarakat. Teori ini
sering lalu lalang di mata pelajaran sosiologi atau sejarah sewaktu SMP atau
SMA. Saya berani mengatakan bahwa di era sekarang, teori ini hambar. Faktanya
kebanyakan orang di jaman sekarang memiliki karakter idealis, perfectsionis,
egois dan individualis. Memang tidak semua, tapi ke ba nya kan. Saya kembali
mengambil contoh simple.
Manusia melakukan interaksi antar sesama manusia pasti
dilandasi dengan adanya kebutuhan, apapun itu. Nah di suatu tempat, terdapat
sekumpulan anak muda, katakanlah anak kota. Suatu ketika ada seorang gadis
norma, berkaca mata tebal, rambut dikuncir dan memakai rok panjang menghampiri
mereka. Si gadis misalnya hendak melakukan wawancara atau hanya sekedar
menanyakan sebuah alamat atau bahkan hanya sekedar lewat. Tebak apa yang mereka
lakukan ? Saya jamin, 98% sekumpulan anak muda itu akan acuh tak acuh, menjawab
alakadarnya dengan tampang datar atau bahkan terkesan mengejek. Beberapa mungkin
akan mengambil sikap cuek terhadap si gadis. Selesai, si gadis pulang dengan
perasaan kecewa dan mungkin sedih atau marah.
Kondisi kedua, datang seorang gadis juga. Gadis ini
berpenampilan ‘normal’, make up yang pas, rok pendek yang pas, pokoknya
semuanya pas. Tujuannya sama, wawancara, bertanya alamat atau anya sekedar
numpang lewat. Nah sekarang, apa yang akan mereka lakukan ? Kali ini saya jamin
100% mereka akan cepat merespon dengan tanggapan yang dibuat seolah baik atau
bahkan ‘sempurna’. Si gadis pulang dengan perasaan puas.
Dari kedua kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kebanyakan orang di era sekarang, melakukan sebuah interaksi dengan ‘memang’
lebih menekankan pada kebutuhan yang lebih ‘khusus’, tujuan tertentu, kategori apapun.
Misalnya sekedar untuk mencari perhatian, kebutuhan ekonomi, social dan banyak
lagi. Semuanya bisa menjadi sebuah kemungkinan. Dapat dilihat pula, sedikit
sekali peran si ‘RESPECT’ disini. Maka dari itu, daritadi saya katakan, si
respect nan bullshit. Jangan berkoar soal respect kalau masih belum mengerti dan menerapkan seperti apa dan bagaimana si "Respect" dalam keadaan NYATA.
No comments:
Post a Comment