Kemarin, Sabtu 19 Oktober 2013 saya hadir di suatu event sosial bertemakan "Sehari Bersama Anak Difabel/Autis". Tidak ada yang salah dengan event ini, malah sebaliknya, ini event yang baik untuk dilaksanakan. Yang jadi masalah adalah pada diri saya. Beberapa anak autis usia dibawah 10 tahun hadir dalam acara tersebut. Sampai disini belum apa belum tertebak dimana letak permasalahannya ?
Well saya beritahu, saya bukan tipikal orang yang bisa luwes menghadapi anak-anak. Saya kaku, tidak terlalu menyukai anak-anak dan parahnya saya adalah bagian dari panitia yang menyelenggarakan acara tersebut. Perfect sudah, saya bingung apa yang harus saya perbuat.
Saya menyadari kalau saya bukanlah sosok protagonis, mungkin, kecuali orang beranggapan lain. Lebih tepatnya mungkin condong kearah sosok yang antagonis, tapi bukan dalam artian yang negatif. Kemarin dengan amat sangat jujur, 10.000% saya telah berusaha semaksimal mungkin mengeluarkan 'sementara' rasa tidak suka saya terhadap anak-anak dan mencoba tersenyum lebarrrr menyambut mereka. Saya cukup berhasil, setidaknya saya bisa bermain dengan mereka dan tidak menyebabkan seorang anakpun cidera (gara-gara saya).
Sebelumnya saya juga sudah pernah membahas mengenai hal ini. Rasa tidak suka saya terhadap sosok anak kecil. Rasa tidak suka yang cenderung mengarah kepada rasa takut. Hal ini terjadi mungkin lebih banyak karena didalam memory yang terekam oleh otak saya, bahwa menjadi anak-anak itu menyebalkan dan menyeramkan. Intinya hampir sebagian besar ingatan yang saya rekam saat masih kanak-kanak adalah ingatan yang katakanlah "sangat tidak layak untuk diingat" dan berbekas sampai sekarang. Ketika saya dihadapkan dengan sosok anak kecil, seakan memory-memory itu muncul kembali. Menyedihkan bukan ? Seakarang, terserah anda mau tertawa, menggangap saya lebay mungkin, atau menganggap saya terlalu melow drama. That's up to you, tapi itu yang menjadikan 'anak kecil' adalah sumber permasalahan bagi saya pribadi.
No comments:
Post a Comment