Dulu, pernah dalam satu
perdebatan di kelas, menyinggung tentang demokrasi, walaupun pokok yang sedang
diperdebatkan sebenarnya bukan itu. Mungkin karena terlalu emosional dan larut
akan suasana perdebatan yang semakin panas, kemudian terlontarlah perkataan
ini, “Indonesia bukan Negara Islam, tapi Indonesia adalah Negara demokrasi,
bukan?”. Ya, kira-kira seperti itulah kata-kata yang tidak sengaja saya
lontarkan kepada lawan debat saya.
Apa sebenarnya demokrasi
itu, seperti apa bentuknya, apa yang harus dilakukan terhadapnya, who knows ?
Saya mengutip pengertian demokrasi dari seorang tokoh legendaris dunia, Abraham
Lincoln, bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Intinya disini adalah rakyat, iya kan ?
Pernahkah
terpikirkan untuk melihat jejak sejarah bangsa Indonesia dan melihatnya bukan
hanya dari satu sudut pandang ? Posisikan anda jika berada di pihak Barat, apa
yang akan anda perbuat ? Atau di posisi sebagai rakyat Indonesia, hal apa juga
yang akan anda perbuat ? Dalam hal ini, terkait demokrasi. Sejak kemerdekaan ’45
sampai sekarang, Indonesia bukan sekali atau dua kali berpindah ideologi. Dari
demokrasi Liberal, Parlementer, Terpimpin, Pancasila, tapi sebenarnya sejauh
apa kemajuan yang telah dicapai bangsa ini ketika masalah bentuk demokrasi pun
mudah digilir-gilir ? Rasanya seperti monoton. Hal ini membuktikan bahwa
mengembangkan suatu ‘pemikiran’ berpola demokrasi di Indonesia tidak mudah.
Satu
hal yang menjadi masalah kompleks, kenapa begitu sulit mengembangkan pola
demokrasi di Indonesia supaya benar-benar berjalan, yaitu pendidikan. Kenapa
Amerika bisa maju ? Padahal mereka juga sama, menggunakan demokrasi. Ya karena tingkat
pendidikan, angka masyarakat yang melek huruf disana sudah tinggi, taraf hidupnyapun demikian.
Simplenya
seperti ini, pada saat pemilu, seorang caleg datang ke sebuah daerah dimana
kebanyakan masyarakatnya buta huruf, kemudian diberi anekdot, penjelasan ini
itu mengenai suatu pola pemerintahan yang akan dijalankan di negaranya untuk
beberapa tahun kedepan. Lanjut diberikan materi berupa visi misi si empunya
jabatan dengan bahasa politis yang penuh dengan istilah-istilah formal. Apakah
dia akan mengerti ? Ya, masyarakat tersebut bisa paham paling kalau disela
penjelasan visi misi si caleg, disisipi dengan uang 20.000. That’s Indonesia.
Bukan menjelekan, tapi ini fakta kejelekan yang masih ada di Negara ini. Nah
kalau sudah begini, dimana letak demokrasi ? Belum terlihat bentuknya.
Kebanyakan
masyarakat hanya tahu, oh demokrasi itu berarti bebas. Namun bebas seperti apa,
dan bagaimana ? Sedangkan inti dan tujuan dari demokrasi pun kebanyakan belum
paham. Lebih fatal lagi jika menyamakan demokrasi dengan demo yang rusuh dan anarkis. Banyak pihak yang berdemostrasi mengatas namakan demokrasi sebagai topik. Lah, demokrasi darimana ? Bentuk demokrasi di Negara barat bisa berjalan dengan semestinya, karena
masyarakatnya sudah mengerti, paham, bisa mencerna situasi politik, masuk di
telinga kemudian diolah, dipikirkan, baru dikeluarkan. Berbeda dengan disini,
masuk di telinga, baca berita kemudian berspekulasi secara sepihak, jika dalam
pemilu lihat nominal yang didapat, blablabla.. baru dikeluarkan. Jika begini,
dimanakah letak demokrasi ?
Hal
terpenting adalah bagaimana memajukan taraf intelektual masyarakat, dengan
pendidikan, bukan dengan iming-iming nominal. Bagaimana memberikan pendidikan
secara merata, bukan hanya untuk anak-anak, tapi remaja, orang dewasa, lansia
pun harus punya intelektual yang cukup. Jika ingin membangun demokrasi, membuat
demokrasi berjalan dengan ‘sepatutnya’, lihat bagaimana kondisi masyarakat
secara menyeluruh. Jika dipaparkan satu per satu, terlalu banyak masalah yang
ada dalam masyarakat yang mendukung bahwa, masyarakat ‘belum siap’ dengan ‘demokrasi’.
Contoh
social yang dapat kita lihat sekarang ini, di bagian barat Indonesia, seperti
Sumatera dan Jawa, banyak orang-orang berjas, tapi di bagian timur juga masih
banyak orang-orang yang belum berpakaian layak. Di Menteng, banyak sekali orang
memakai sepatu kulit buatan Italy, memakai jas bermerk, teknologi maju, sekolah-seolah
elite dll. Di Banten, masih ada orang-orang yang belum memakai sandal dan belum
tersentuh teknologi dan pendidikan yang layak. Padahal jarak kedua tempat tersebut
kurang lebih hanya 3 jam.
Belum
ada keseimbangan, keteraturan dan kesama rataan yang benar-benar terlihat dalam
kehidupan social masyarakat. Disaat jarak antara si miskin dan si kaya semakin
jauh, tidak ada ikatan social yang mendekatkan mereka. Seperti rakyat yang
berada di kelas bawah, sementara pejabat dan politisi berada di atas. Jika
seperti ini, dimanakah demokrasi ? Demokrasi, dimana seharusnya dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat, pada kenyataannya yang terjadi adalah dari rakyat,
oleh rakyat, untuk pejabat.
#CMIIW ^__^




No comments:
Post a Comment