Thursday, 3 April 2014

Membangun Demokrasi






Dulu, pernah dalam satu perdebatan di kelas, menyinggung tentang demokrasi, walaupun pokok yang sedang diperdebatkan sebenarnya bukan itu. Mungkin karena terlalu emosional dan larut akan suasana perdebatan yang semakin panas, kemudian terlontarlah perkataan ini, “Indonesia bukan Negara Islam, tapi Indonesia adalah Negara demokrasi, bukan?”. Ya, kira-kira seperti itulah kata-kata yang tidak sengaja saya lontarkan kepada lawan debat saya. 
 
Apa sebenarnya demokrasi itu, seperti apa bentuknya, apa yang harus dilakukan terhadapnya, who knows ? Saya mengutip pengertian demokrasi dari seorang tokoh legendaris dunia, Abraham Lincoln, bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Intinya disini adalah rakyat, iya kan ?

Pernahkah terpikirkan untuk melihat jejak sejarah bangsa Indonesia dan melihatnya bukan hanya dari satu sudut pandang ? Posisikan anda jika berada di pihak Barat, apa yang akan anda perbuat ? Atau di posisi sebagai rakyat Indonesia, hal apa juga yang akan anda perbuat ? Dalam hal ini, terkait demokrasi. Sejak kemerdekaan ’45 sampai sekarang, Indonesia bukan sekali atau dua kali berpindah ideologi. Dari demokrasi Liberal, Parlementer, Terpimpin, Pancasila, tapi sebenarnya sejauh apa kemajuan yang telah dicapai bangsa ini ketika masalah bentuk demokrasi pun mudah digilir-gilir ? Rasanya seperti monoton. Hal ini membuktikan bahwa mengembangkan suatu ‘pemikiran’ berpola demokrasi di Indonesia tidak mudah. 

Satu hal yang menjadi masalah kompleks, kenapa begitu sulit mengembangkan pola demokrasi di Indonesia supaya benar-benar berjalan, yaitu pendidikan. Kenapa Amerika bisa maju ? Padahal mereka juga sama, menggunakan demokrasi. Ya karena tingkat pendidikan, angka masyarakat yang melek huruf disana sudah tinggi, taraf  hidupnyapun demikian.

Simplenya seperti ini, pada saat pemilu, seorang caleg datang ke sebuah daerah dimana kebanyakan masyarakatnya buta huruf, kemudian diberi anekdot, penjelasan ini itu mengenai suatu pola pemerintahan yang akan dijalankan di negaranya untuk beberapa tahun kedepan. Lanjut diberikan materi berupa visi misi si empunya jabatan dengan bahasa politis yang penuh dengan istilah-istilah formal. Apakah dia akan mengerti ? Ya, masyarakat tersebut bisa paham paling kalau disela penjelasan visi misi si caleg, disisipi dengan uang 20.000. That’s Indonesia. Bukan menjelekan, tapi ini fakta kejelekan yang masih ada di Negara ini. Nah kalau sudah begini, dimana letak demokrasi ? Belum terlihat bentuknya.



Kebanyakan masyarakat hanya tahu, oh demokrasi itu berarti bebas. Namun bebas seperti apa, dan bagaimana ? Sedangkan inti dan tujuan dari demokrasi pun kebanyakan belum paham. Lebih fatal lagi jika menyamakan demokrasi dengan demo yang rusuh dan anarkis. Banyak pihak yang berdemostrasi mengatas namakan demokrasi sebagai topik. Lah, demokrasi darimana ? Bentuk demokrasi di Negara barat bisa berjalan dengan semestinya, karena masyarakatnya sudah mengerti, paham, bisa mencerna situasi politik, masuk di telinga kemudian diolah, dipikirkan, baru dikeluarkan. Berbeda dengan disini, masuk di telinga, baca berita kemudian berspekulasi secara sepihak, jika dalam pemilu lihat nominal yang didapat, blablabla.. baru dikeluarkan. Jika begini, dimanakah letak demokrasi ?



Hal terpenting adalah bagaimana memajukan taraf intelektual masyarakat, dengan pendidikan, bukan dengan iming-iming nominal. Bagaimana memberikan pendidikan secara merata, bukan hanya untuk anak-anak, tapi remaja, orang dewasa, lansia pun harus punya intelektual yang cukup. Jika ingin membangun demokrasi, membuat demokrasi berjalan dengan ‘sepatutnya’, lihat bagaimana kondisi masyarakat secara menyeluruh. Jika dipaparkan satu per satu, terlalu banyak masalah yang ada dalam masyarakat yang mendukung bahwa, masyarakat ‘belum siap’ dengan ‘demokrasi’. 

Contoh social yang dapat kita lihat sekarang ini, di bagian barat Indonesia, seperti Sumatera dan Jawa, banyak orang-orang berjas, tapi di bagian timur juga masih banyak orang-orang yang belum berpakaian layak. Di Menteng, banyak sekali orang memakai sepatu kulit buatan Italy, memakai jas bermerk, teknologi maju, sekolah-seolah elite dll. Di Banten, masih ada orang-orang yang belum memakai sandal dan belum tersentuh teknologi dan pendidikan yang layak. Padahal jarak kedua tempat tersebut kurang lebih hanya 3 jam. 

Belum ada keseimbangan, keteraturan dan kesama rataan yang benar-benar terlihat dalam kehidupan social masyarakat. Disaat jarak antara si miskin dan si kaya semakin jauh, tidak ada ikatan social yang mendekatkan mereka. Seperti rakyat yang berada di kelas bawah, sementara pejabat dan politisi berada di atas. Jika seperti ini, dimanakah demokrasi ? Demokrasi, dimana seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, pada kenyataannya yang terjadi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat.


#CMIIW ^__^

No comments:

Post a Comment

What are you looking for..?

Keep Moving Forward with much idea and creation on your Blog...

Popular Posts

Author

Do you have an advice for this blog, call me.

Followers

Search Engine MarketingSubmit Express
WELCOME TO MY LITTLE WORLD, GUYS !!