Monday, 1 April 2013

DISTANCE PART 1

Bumi, Indonesia, 2125

Perang nuklir terjadi dimana-mana, di berbagai belahan dunia tak terkecuali, Indonesia. Pernahkah kalian berpikir atau mendengar bahwa kecoa tahan akan radiasi nuklir ? Ya, pemikiran ini memang benar-benar aneh, sangat aneh. Tapi percaya atau tidak, di jaman ini kami melakukan percobaan tersebut, lebih parahnya, percobaan masal. Aku Amelia, orang-orang terdekatku biasa memanggilku Mia. Nenekku sempat bercerita sebelum beliau meninggal dunia bahwa Indonesia dulunya merupakan negara kepulauan terbesar yang terletak tepat pada garis khatulistiwa. Tapi jaman benar-benar berubah. Letak Indonesia sekarang sudah tidak lagi pada tempatnya yang dulu, bergeser beberapa derajat mendekati Jepang dan benua Eropa. Global Warming yang sudah tidak lagi tertahankan membuat cuaca dan iklim dunia menjadi kacau. Siklus alam benar-benar telah berubah. Dibarengi dengan hal ini, teknologi semakin maju. Kami sudah membuat beberapa perubahan yang sangat signifikan dalam pola hidup ataupun dengan cara bertahan hidup. Beberapa penemuan baru telah dikembangkan. Pada awal abad 21 malah terjadi revolusi besar-besaran di dunia. Hal ini menyebabkan para penguasa negara adidaya kembali menunjukan taring mereka. Tak mau kalah bersaing, merekapun lantas membentuk banyak aliansi, dalam perang baru, perang dunia ke III. Aku masih 17 tahun pada saat itu, baru sebentar meniti karier sebagai seorang arkeolog dan scientist, Indonesiapun saat itu telah menjadi negara yang sangat maju. Dengan segala teknologi, dan segala madarat yang diakibatkan olehnya. Dan satu hal, di jaman ini, semua negara, negara terkecil sekalipun telah mempunyai berbagai senjata mengerikan, nuklir dan senjata kimia.

Amerika memulai invasinya pada awal tahun 2115 ke berbagai negara di Eropa, Afrika maupun di Asia. Hal ini menimbulkan banyak reaksi keras di berbagai belahan dunia. Eropa yang sangat mengecam tindakan ini, tidak tinggal diam. Beraliansi dengan beberapa negara di Afrika dan Asia, Jerman menyerang Amerika dengan senjata nuklir. Tapi hal ini berhasil diketahui pihak Amerika dan rencana inipun berhasil digagalkan. Tahun 2117, Amerika kembali memulai serangan dengan menembakan nuklir ke daerah Eropa Timur dan sebagian Asia. Korban jiwa berjatuhan dimana-mana. Asia Tengah bersekutu dengan Jerman dan Russia kemudian membalas serangan Amerika dengan melakukan serangan nuklir ke pusat pemerintahan di Washington. Hal ini menimbulkan reaksi kembali dari pihak sekutu. Setelah kurang lebih 10 tahun peperangan terjadi, banyak negara menjadi porak poranda. Situs budaya, maupun hasil kecanggihan dan modernisasi teknologi tak luput dari dampak mengerikan kejadian ini, semuanya musnah. Bumi perlahan rusak. Meskipun begitu, perang tetap berlanjut. 
Indonesia bekerja sama dengan beberapa negara di Asia seperti negara-negara ASEAN, Korea Selatan, China, Jepang, Thailand, juga negara-negara Eropa dan Afrika. sepakat untuk malakukan pengungsian besar-besaran. Hal ini dilakukan karena radiasi nuklir terjadi dimana-mana, keadaan alam sudah sangat mengenaskan ditambah bumi yang sudah tidak layak huni mendorong pengungsian segera dilaksanakan. 

***

Pemerintah membagi kelompok pengungsi sesuai dengan distrik masing-masing. Rabu pagi, aku dan keluargaku dan orang-orang lainnya diberangkatkan dengan pesawat kargo ke daerah China Selatan. Ya, hari itu kami memulai proses pengungsian. Dan di hari itu pula, merupakan awal dari kehidupan remajaku yang sungguh memilukan, melihat tempat tinggal dan duniaku hancur perlahan.
Perjalanan hanya memakan waktu beberapa jam sampai pada akhirnya kami diturunkan di sebuah daerah yang lapang, tandus, disana hanya ada sebuah lubang yang sangat besar, hampir seluas sebuah kota kurasa, lubang itu berbentuk persegi yang sudah di desain sedemikian rupa. Tempat yang benar-benar asing bagiku. Setelah semua orang turun, kami langsung diarahkan untuk menaiki eskalator yang cukup luas untuk setidaknya berdesakan dengan pengungsi lain. Aku ketakutan, gelisah, kupegang erat tangan Ibuku sambil tangan kananku memeluk box Felis, kucingku, yang juga turut aku bawa ke tempat pengungsian. Tempat ini cukup aneh bila disebut sebagai tempat pengungsian, lebih mirip penjara. Setelah menuruni eskalator, kami dibimbing ke sebuah ruangan yang sangat luas, gelap dan lembab. Tempat itu seperti sebuah gua, tidak, ini lebih dari sekedar gua. Kami seperti diarahkan tepat ke dalam perut bumi. Kami berkumpul, saling berpegangan seperti sekawanan domba yang sedang diternak oleh gembalanya, ketakutan,, resah, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Beberapa menit kemudian lampu dinyalakan, lega, tapi kemudian disusul rasa takut yang mencekam. Ruangan itu benar-benar gua, hanya saja telah dilapisi beton dan berbagai perlengkapan militer menghiasi di dinding-dindingnya. Kemudian terdengar seseorang bicara, perwakilan dari negara China kurasa. Entah siapa, mungkin seseorang yang berpengaruh dari pihak militernya, entahlah, pikiranku tak karuan, yang ada hanya rasa takut dan takut. Aku melihat wajah ibuku dan dia pun hanya membalas dengan senyuman ringan, seperti terselip dalam senyuman itu dia mengatakan "tenanglah.. semuanya akan baik-baik saja".  Aku hanya terdiam dan mengeratkan pelukanku pada box Felis.

***

Setelah si orang berpengaruh itu berbicara, kami kembali diarahkan menuju suatu tempat, tapi kali ini lebih buruk. Pengungsi usia dibawah 18 tahun harus dipisahkan dengan pengungsi lainnya yang diatas batas usia itu. Aku.. terpisah dengan ibuku, lebih tepatnya, dipisahkan. Aku menangis, menjerit sekendang-kencangnya saat seorang militer China menarik diriku ke tempat pengungsi yang berbeda dari tempat ibuku, aku menjerit meneriakan nama Ibuku. Lemas, ketakutanku semakin menjadi saat aku melihat ibuku semakin menjauh dariku, jarak kami semakin lebar, sampai pada akhirnya, kami benar-benar terpisah. Mereka juga membawa Felis, dan menempatkannya di ruangan lain, entah dimana. Aku sendirian, diantara hiruk pikuk para pengungsi lain yang sama sekali tidak aku kenal.
Aku duduk terdiam, menangis. Kupeluk diriku sendiri berusaha menahan tubuhku yang menggigil ketakutan. Berselang sekitar 5 menit, kami diberi sebuah pil, pil yang aneh. Mereka, orang-orang berseragam militer itu mengintruksikan untuk meminum pil tersebut. Aku sama sekali tidak mendengarkan, pikiranku benar-benar tidak bekerja, dengan reflek, tanganku malah menggenggam pil tersebut sampai hancur. Aku baru menyadari apa yang telah aku lakukan, ketakutan kembali merasukiku, ketakutan kalau-kalau orang-orang itu tahu aku tidak meminum pilnya, ketakutan kalau-kalau mereka akan memberiku pil lagi, semacam itulah. Aku lantas membuang bubuk pil itu ke dalam saku jaket, menyembunyikannya. Tanganku yang satu, berpura-pura memasukan pil khayalan ke dalam mulut, dan pura-pura kutelan sesuatu yang sebenarnya telah hancur menjadi butiran debu.

Selang beberapa menit, seperti anjing yang harus menuruti tuannya, kami kembali diarahkan, kali ini ke sebuah lorong yang mengarah ke ruang bawah tanah. Benar-benar tidak habis pikir, ada berapa ruang bawah tanah di tempat ini?! Ruang bawah tanah dibawah ruang bawah tanah! Pikiranku meracau, badanku gemetar, serasa tak sanggup untuk berjalan, ingin rasanya aku pingsan saat itu juga, tapi tidak. Jika aku pingsan, sama saja menyerahkan diriku untuk mati sia-sia, terinjak ribuan orang yang berjalan ke tempat yang menurut mereka merupakan tempat yang paling aman di dunia saat ini, tempat dimana kami digiring sekarang ini. Aku mencoba bertahan sekuat yang kubisa, menggerakan kakiku walau perlahan, sampai pada akhirnya, seseorang merangkul pundakku. Seseorang berusaha menahan tubuhku agar tidak jatuh. Aku melirik ke arahnya, seseorang yang lebih tinggi dariku, sedang mendekapku dengan hati-hati. Mata kami bertemu, seorang pria kira-kira sebaya denganku, berperawakan tinggi, tegap dengan wajah oriental dan mempunyai aura yang menenangkan itu membantuku berjalan. Wajahnya begitu tenang, tak tersirat sedikitpun rasa takut atau gelisah di rona matanya, hanya senyuman, senyuman itu yang cukup membuat tenang dalam beberapa saat. "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Sebentar lagi kita akan aman, berusahalah sedikit lagi", suaranya begitu ringan dan terdengar menyenangkan di telingaku. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumannya, kamipun kembali berjalan. 
"A..Amelia", dengan gelagapan aku berusaha membuka suasana. Dia hanya menjawab dengan, "Hm ?", kurasa dia tidak cukup mendengarku. "Aku Amelia, panggil aku Mia", dengan malu-malu aku berusaha mengucap dengan keras namaku, entah dia mendengar atau tidak, terserahlah. "Oh.. Aku Lee, Han Chun Lee, China", ternyata kali ini dia mendengar dan menyebutkan namanya disertai dengan senyumannya itu, hmm... "Indonesia", aku memberitahunya darimana asalku. "Senang bertemu denganmu, Mia", huh senyuman itu lagi. "Aku juga".
Kurasa cukup jauh kami berjalan dan akhirnya kami sampai disini. Entahlah bagaimana harus kusebutkan, tidak bisa, begitu aku melihatnya, kurasa tempat ini benar-benar seperti neraka..............

#TO BE CONTINUED....
by : ME


No comments:

Post a Comment

What are you looking for..?

Keep Moving Forward with much idea and creation on your Blog...

Popular Posts

Author

Do you have an advice for this blog, call me.

Followers

Search Engine MarketingSubmit Express
WELCOME TO MY LITTLE WORLD, GUYS !!